oc_17861.jpeg
06/Jan/2017

Terapi sandplay adalah terapi non-verbal berdasarkan teori psikologi dari Carl Gustav Jung dan dikembangkan oleh seorang psikoterapis dari Swiss bernama Dora Kalff.

Pada terapi sandplay, digunakan figur-figur yang dapat merefleksikan pengalaman dunia batin seseorang. Proses memilih dan meletakkan figur-figur tersebut di atas pasir, memberikan kesempatan kepada diri yang paling terdalam untuk mengekspresikan diri tanpa kata-kata. Terapi sandplay memfasilitasi konflik terdalam yang kompleks, trauma dan masalah emosi untuk muncul secara non-verbal. Penggunaan simbol dan bentuk sebagai sarana untuk ekspresi diri mengaktfikan hemisfer kanan dan area limbik pada otak sehingga dapat menyalurkan keterlukaan psikologis yang selama ini tertahan sehingga membantu munculnya sense of wholeness dan pengenalan terhadap diri sendiri.

Pada lingkungan yang aman dan terlindungi yang diciptakan oleh terapis Sandplay, perasaan yang selama ini tidak disadari (unconscious feeling) serta pengalaman yang belum terselesaikan dapat muncul di atas pasir sehingga dapat diproses dan diklarifikasi secara alamiah. Proses ini memunculkan kesembuhan, resolusi dan penyatuan min-body-spirit.

Landasan dari terapi sandplay adalah penggunana simbol yang non-direktif. Terapis sandplay memainkan peranan penting dengan menampilkan sikap yang menerima dan berfokus pada kondisi klien (client-centered therapy). Terapi ini berguna untuk anak-anak maupun orang dewasa.

Manfaat dari terapi sandplay didukung oleh penelitian di bidang neurobiologis yang menemukan bahwa pengalaman emosi yang traumatic disimpan di system limbik dan hemisfer otak sebelah kanan.  Proses terapi sandplay dapat membantu melepas trauma yang tersimpan sehingga seseorang dapat berkembang menjadi diri yang utuh serta mengaktualisasikan potensi dirinya. Selain itu, hubungan dengan diri sendiri yang penting untuk perkembangan psikologis yang sehat juga semakin terjalin.


Dyslexia1-1200x674.jpg
06/Jan/2017

Apa itu Disleksia?

Kata disleksia berasal dari kata “dys” yang berarti gangguan atau ketidakmampuan, dan kata “lexis” yang menunjuk kepada kata-kata atau berbahasa. Dari asal katanya disleksia berarti gangguan/ketidakmampuan dalam berbahasa dan mengeja kata. Disleksia bukan disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar, kerusakan indera, atau kondisi lingkungan.

Disleksia disebabkan karena adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang memengaruhi persepsi visual anak terhadap objek huruf, angka, atau kata. Anak dengan disleksia mengalami kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, menyimak, dan berhitung. Disleksia termasuk dalam kategori kesulitan belajar spesifik/khusus (specific learning disabilities).

Fakta-fakta tentang disleksia menunjukkan bahwa satu dari lima pelajar atau 15-20 % anak usia sekolah dasar mengalami disleksia dengan variasi dalam tingkat keparahannya. Kebanyakan orang yang punya kemampuan membaca buruk, 70-80 % adalah “dyslexic”. Meski mengalami gangguan dalam belajar, anak dengan disleksia memiliki intelegensi normal, bahkan di atas rata-rata. Albert Einstein, Lee Kuan Yew, Tom Cruise adalah orang-orang dengan disleksia.

Mengapa Intervensi Dini Sangat Penting?

Disleksia adalah gangguan belajar yang bersifat menetap seumur hidup. Karena itu penanganan terhadap disleksia membutuhkan deteksi sejak awal terhadap gejala yang terjadi pada anak, yang kemudian diikuti dengan intervensi berupa metode-metode pengajaran yang kreatif termasuk penggunaan teknologi, agar anak dengan disleksia mampu mengejar “ketertinggalan”. Intervensi dini berarti kemudahan bagi anak untuk melanjutkan studinya. Intervensi khusus bisa diberikan melalui pendekatan konseling pada anak.

 

Source by : College of Allied Educator


adhd-child-holding-notice.jpg
06/Jan/2017

Apa itu ADHD?

Pernahkah kita merasa sulit memusatkan perhatian, seakan begitu banyak hal mengganggu pikiran sehingga tidak bisa tidur? Atau, pernahkah kita merasa sangat bergairah menikmati hal-hal yang kita suka, hingga lupa waktu dan tidak ingin semua itu dihentikan?

Kondisi tersebut dapat terjadi pada setiap orang. Namun, pada penyandang ADHD, hal itu berlangsung terus menerus di mana pun ia berada. Layaknya televisi, mereka tidak memiliki tombol “switch on-off”, sehingga tidak dapat dipindahkan “channel”-nya atau dihentikan.

Karena selalu terdorong untuk bergerak, mereka menjadi tidak bisa diam dan selalu mencari kegiatan atau orang-orang yang bereaksi sama dengan dirinya. Gerakan kipas angin, kupu-kupu yang terbang di luar jendela kelas, suara ramai di kelas sebelah, atau “video-game”, bisa menjadi faktor pengganggu, ketika ia sedang mendengarkan guru yang mengajar di depan kelas. Kondisi ini berdampak pada ketidakstabilan performa akademik mereka. Suatu ketika bisa mendapatkan nilai baik, namun di lain waktu nilainya juga bisa turun karena proses belajar yang tidak konsisten.

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: Inatensi atau kesulitan memusatkan perhatian. Impulsivitas atau kesulitan menahan keinginan. Hiperaktivitas atau kesulitan mengendalikan gerakan.

Mengapa Peran Orang Tua Penting?

Anak dengan ADHD perlu menyalurkan energinya melalui aktivitas dan program rutin. Di sini peran orang tua menjadi penting untuk mengontrol sekaligus menata perilaku anak. Barkley (2005) bahkan memberi jaminan adanya hasil yang lebih baik, ketika orang tua melibatkan suasana emosi positif dalam mendampingi anak. Anak secara psikologis akan merasa lebih diterima, sementara orang tua akan memahami kenyataan sulitnya perjuangan anak dalam belajar. Hal ini akan membuat orang tua menjadi lebih sabar dan membantu anak untuk menata perilakunya yang positif bagi dirinya.

 

Source by : College of Allied Educator


Klinik PERHATI © 2017. Semua Hak Dilindungi Undang-Undang